Sabtu, 05 November 2011

SEJARAH HINDU BUDA DI INDONESIA

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN AGAMA SERTA
KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA DIINDONESIA


A. Proses Masuknya Agama Hindu dan Budha ke Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia.
Pada abad 1 Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.
Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu - Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Hindu - Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel).
Dilihat ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
Untuk penyiaran Agama Hindu ke Indonesia, terdapat beberapa pendapat/hipotesa yaitu antara lain:
1.   Teori Waisya, diutarakan oleh Dr.N.J.Krom, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang datang untuk berdagang ke Indonesia, bahkan diduga ada yang menetap karena menikah dengan orang Indonesia.
2. Teori Ksatria, diutarakan oleh Prof.Dr.Ir.J.L.Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.
3. Teori Brahmana, diutarakan oleh J.C.Vanleur berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana karena hanyalah kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.
Pada dasarnya ketiga teori tersebut memiliki kelemahan yaitu karena golongan ksatria dan waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak boleh menyebrangi laut.
Dari kebenaran maupun kelemahan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, masuknya agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana yang tidak kolot atas undangan raja dan orang Indonesia yang belajar ke India.
4. Teori Arus Balik
Dengan adanya penyebaran agama Hindu tersebut maka mendorong orang-orang Indonesia untuk menambah ilmunya mempelajari agama Hindu di India sekaligus berziarah ke tempattempat suci. Dan sekembalinya dari India tersebut, maka orang-orang tersebut dapat menyebarkan agama Hindu dengan bahasa mereka sendiri, dengan demikian agama Hindu lebih cepat dan mudah tersebar di Indonesia.
B. Wujud Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia
Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus; yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya.
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.
Dengan adanya kontak dagang antara Indonesia dengan India, maka mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru tetapi tidak melenyapkan kepribadian kebudayaan sendiri. Hal ini berarti kebudayaan Hindu - Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Indonesia, sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Indonesia menjadi bentuk akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu - Budha.
1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa sansekerta yang dapat ditemukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta tersebut memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu - Budha pada abad 5 - 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 - 13 M. Sedangkan untuk aksara, dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan huruf Pallawa, tetapi kemudian huruf Pallawa tersebut juga berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.
2. Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme. Dengan masuknya agama Hindu - Budha ke Indonesia, maka masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Tetapi agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme.
Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu - Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya dapat dilihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.
3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun.
Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harihari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Permerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi pada masa berlangsungnya kerajaan Majapahit, dalam hal pengangkatan Wikramawardana.
Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata).
Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.
4. Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M.
Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
5. Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.
Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.
Di samping itu juga dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang Dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disebut dengan Pripih.
Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
candi jago
Untuk candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu untuk memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa.
Candi Borobudur
Candi Borobudur adalah candi Budha yang terbesar sehingga merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram, dilihat dari 3 tingkatan, pada tingkatan yang paling atas terdapat patung Dyani Budha. Patung-patung Dyani Budha inilah yang menjadi tempat pemujaan umat Budha. Di samping itu juga pada bagian atas, juga terdapat atap candi yang berbentuk stupa. Untuk candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.
6. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan .
Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul), gambar timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha.
Relief Candi Borobudur
Gambar diatas adalah relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang
digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang, hal ini menunjukkan bahwa relief tersebut mengambil kisah dalam riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara.
Demikian pula di candi-candi Hindu, relief yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana. Yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran.
Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli ceritera tersebut, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Untuk itu wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan.
Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
C. Kerajaan-Kerajaan Yang Bercorak Hindu Budha.

1.Kerajaan Kutai
Kutai adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia, yang diperkirakan muncul pada abad 5 M atau ± 400 M, keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan sumber berita yang ditemukan yaitu berupa prasasti yang berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7 buah.
Salah satu Yupa dari Kutai
Tempat penemuan prasasti Yupa tersebut adalah daerah Muarakaman tepi sungai Mahakam, Kalimantan Timur, sehingga oleh para ahli kerajaan tersebut diberi nama Kutai, karena dalam prasasti tidak dijelaskan nama kerajaan untuk itu diberi nama sesuai tempat penemuan prasasti tersebut.
Dari isi yang tertera dalam prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, dapat disimpulkan tentang keberadaan kerajaan Kutai dalam berbagai aspek kebudayaan yaitu antara lain politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Kehidupan Politik
Dalam kehidupan politik dijelaskan bahwa raja terbesar Kutai adalah Mulawarman sebagai raja yang mulai dan berhasil membawa kejayaan, raja Mulawarman adalah putra Aswawarman dan Aswawarman adalah putra Kudungga.
Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa Aswawarman disebut sebagai dewa Ansuman/dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta atau pendiri keluarga raja. Hal ini berarti Aswawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang sebagai pendiri Keluarga atau Dinasti dalam agama Hindu. Untuk itu para ahli berpendapat nama Kudungga masih nama Indonesia asli dan masih sebagai kepala suku, walaupun demikian Kudunggalah yang menurunkan raja-raja Kutai.

Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sosial. Perihal ini diketahui bahwa terjalin hubungan yang harmonis/ erat antara Raja Mulawarman dengan kaum Brahmana, seperti yang dijelaskan dalam prasasti Yupa, bahwa raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakesmara.
Waprakesmara adalah tempat suci untuk memuja dewa Syiwa, yang kalau di pulau Jawa disebut dengan Baprakeswara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama yang dianut Mulawarman adalah Hindu aliran Syiwa artinya dewa yang dipuja adalah Syiwa.

Kehidupan Ekonomi
Sedangkan dalam kehidupan ekonomi. Hal ini tidak dijelaskan secara pasti dalam prasasti, tetapi para ahli sejarah berpendapat bahwa dengan adanya sedekah 20.000 ekor sapi membuktikan perekonomian Kutai sudah kuat pada masa itu, yang didasarkan kepada pertanian, peternakan dan perdagangan.
Mata pencaharian tersebut di atas dimungkinkan karena raja Mulawarman menghadiahkan kepada kaum Brahmana 20.000 ekor sapi. Ini dapat dijadikan indikasi bahwa populasi ternak cukup besar pada waktu itu. Ia juga menghadiahkan segunung minyak kental dengan lampu, seperti yang tertulis dalam prasasti.

Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya. Ia dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah maju, walaupun penganut Hindu belum lama diterima. Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu) atau disebut upacara Vratyastoma.
Upacara Vratyastoma dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga masih mempertahankan ciri-ciri keIndonesiaannya sedangkan yang memimpin upacara tersebut, menurut para ahli dipastikan adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli.
Dengan adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama dalam hal penguasaan terhadap bahasa Sansekerta pada dasarnya bukanlah bahasa rakyat India sehari-hari, melainkan lebih merupakan bahasa resmi kaum Brahmana untuk masalah keagamaan.

Kerajaan Tarumanagara.
Bukti-bukti adanya kerajaan Tarumanegara diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa 7 buah prasasti  yang ditemukan lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang nama-nama prasasti tersebut, simak dengan baik penjelasannya berikut ini.
a.   Prasasti Ciarunteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris kalimat yang ditulis dalam bentuk puisi India. Dan di samping itu juga terdapat lukisan laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Mulawarman yang diibaratkan kaki dewa Wisnu.
Prasasti Ciaruten
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
1.   Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
2.   Di India, cap telapak kaki melambangkan kekuasaan sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
b.   Prasasti Jambu atau prasasti Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahwa Sansekerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman.
c.   Prasasti Kebun Kopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang. Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airanata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.
d. Prasasti Muara Cianteun, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
e.   Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiling, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
f.    Prasasti Cidanghiang atau prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.
g.   Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut.
Prasasti Tugu
Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:
1.   Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
2. Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Pebruari dan April.
3. Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.

Sumber dari Luar Negeri
Sedangkan sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita Cina antara lain:
1.   Berita Fa-Hien, tahun 414 M dalam bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Budha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme.
2.   Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo yang terletak di sebelah selatan.
3.   Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara. Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara.

Kehidupan Politik
Dalam kehidupan politik, kerajaan Tarumanegara diperkirakan muncul abad 5 M, hal ini berdasarkan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa yang dipergunakan oleh prasastiprasasti tersebut. Dan raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman meliputi hampir seluruh Jawa Barat dengan pusat kekuasaannya di daerah Bogor. Hal ini ternyata sesuai dengan tempat penemuan prasasti tersebut.
Pada masa pemerintahan Purnawarman, Tarumanegara mencapai puncak kejayaannya dan telah menjalin hubungan diplomatik dengan Cina. Dengan adanya hubungan diplomatik tersebut, berarti juga terjalin hubungan perdagangan dan pelayaran antara Tarumanegara dengan Cina. Dengan demikian dapat diketahui kehidupan ekonomi Tarumanegara tersebut.

Kehidupan Ekonomi
Perekonomian Tarumanegara di samping utamakan bidang pertanian, pelayaran dan perdagangan, juga perburuan dan perikanan mendapatkan perhatian. Hal ini dapat dibuktikan melalui berita-berita tentang barang-barang perdagangan dari kerajaan Tarumanegara. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain: cula badak, gading gajah dan kulit penyu. Barang tersebut diperoleh dari usaha perburuan dan perikanan.

Kehidupan Sosial
Dengan adanya kehidupan ekonomi yang kompleks tersebut, maka kehidupan sosial masyarakatnya cukup baik, sehingga masing-masing golongan masyarakat yang ada pada masa itu dapat saling bekerja sama dan tercipta jalinan kehidupan yang baik.

Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapatlah diperkirakan Tarumanegara sudah mengalami kemajuan. Karena telah mengenal tulisan dan sudah menerima pengaruh asing serta mengenal sistem kalender seperti yang tertera dalam prasasti Tugu.
Kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya adalah nama kerajaan yang tentu sudah tidak asing, karena Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara pada waktu itu (abad 7 - 13 M).
Sumber-sumber sejarah kerajaan Sriwijaya selain berasal dari dalam juga berasal dari luar seperti dari Cina, India bahkan Arab.

Sumber-sumber dari dalam negeri
Sumber dari dalam negeri berupa prasasti yang berjumlah 6 buah yang menggunakan bahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa, serta telah menggunakan angka tahun Saka, antara lain:
a.   Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di Kedukan Bukit, di tepi sungai Tatang dekat Palembang, berangka tahun 606 Saka. Isi prasasti tersebut menceritakan perjalanan suci/Sidayatra yang dilakukan Dapunta Hyang, berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara sebanyak 20.000 orang. Dari perjalanan tersebut berhasil menaklukkan beberapa daerah.
b.   Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat kota Palembang berangka tahun 606 Saka. Prasasti ini menceritakan pembuatan Taman Sriksetra untuk kemakmuran semua makhluk dan terdapat doa-doa yang bersifat Budha Mahayana.
c.   Prasasti Telaga Batu ditemukan di Telaga Batu dekat Palembang tidak berangka tahun.
d.   Prasasti Kota Kapur ditemukan di kota Kapur pulau Bangka berangka tahun 608 Saka.
e.   Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi Hulu berangka tahun 608 Saka.
f.    Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Lampung Selatan tidak berangka tahun.
Keempat Prasasti yang disebut terakhir yaitu Prasasti Telaga Batu, Kota Kapur, Karang bukit, dan Palas Pasemah menjelaskan isi yang sama yaitu berupa kutukan terhadap siapa saja yang tidak tunduk kepada raja Sriwijaya.

Sumber-sumber prasasti dari luar negeri
Sumber yang berupa prasasti ditemukan di Semenanjung Melayu berangka tahun 775 M yang menjelaskan tentang pendirian sebuah pangkalan di semenanjung melayu, daerah Ligor. Untuk itu prasasti tersebut, diberi nama Prasasti Ligor.
Prasasti berikutnya ditemukan di India di kota Nalanda yang berasal dari abad ke 9 M. Prasasti tersebut menjelaskan pendirian Wihara oleh Balaputradewa raja Sriwijaya.

Sumber Berita Asing
Di samping prasasti-prasasti, keberadaan Sriwijaya juga diperkuat dengan adanya berita-berita Cina maupun berita Arab.
Berita Cina, diperoleh dari I-Tshing seorang pendeta Cina yang sering datang ke Sriwijaya sejak tahun 672 M, yang menceritakan bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang menguasai agama seperti di India dan di samping itu juga, berita dari dinasti Sung yang menceritakan tentang pengiriman utusan dari Sriwijaya tahun 971 - 992 M. Nama kerajaan Sriwijaya dalam berita Cina tersebut, disebut dengan Shih-lo-fo-shih atau Fo-shih, sedangkan dari berita Arab Sriwijaya disebut dengan Zabag/Zabay atau dengan sebutan Sribuza. Dari berita-berita Arab dijelaskan tentang kekuasaan dan kebesaran serta kekayaan Sriwijaya.
Demikianlah bukti-bukti tentang sumber dari luar negeri yang menjelaskan keberadaan Sriwijaya, sehingga melalui sumber-sumber tersebut dapat diketahui perkembangan Sriwijaya dalam berbagai aspek kehidupan.

Kehidupan Politik
Dalam kehidupan politik. Dapat diketahui bahwa raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga, dengan pusat kerajaannya ada 2 pendapat yaitu pendapat pertama yang menyebutkan pusat Sriwijaya di Palembang karena daerah tersebut banyak ditemukan prasasti Sriwijaya dan adanya sungai Musi yang strategis untuk perdagangan.
Sedangkan pendapat kedua letak Sriwijaya di Minangatamwan yaitu daerah pertemuan sungai Kampar kiri dan Kampar kanan yang diperkirakan daerah Binaga yaitu terletak di Jambi yang juga strategis untuk perdagangan.
Dari dua pendapat tersebut, maka oleh ahli menyimpulkan bahwa pada mulanya Sriwijaya berpusat di Minangatamwan. Kemudian karena perkembangannya dipindahkan ke
Palembang.
Untuk selanjutnya Sriwijaya mampu mengembangkan kerajaannya melalui keberhasilan politik ekspansi/perluasan wilayah ke daerah-daerah yang sangat penting artinya untuk perdagangan. Hal ini sesuai dengan prasasti yang ditemukan Lampung, Bangka, dan Ligor. Bahkan melalui benteng I-tshing bahwa Kedah di pulau Penang juga dikuasai Sriwijaya.
Dengan demikian maka Sriwijaya bukan lagi sebagai negara senusa atau satu pulau, tetapi sudah merupakan negara antar nusa karena penguasaannya atas beberapa pulau. Bahkan ada yang berpendapat Sriwijaya adalah negara kesatuan pertama. Karena kekuasaannya luas dan berperan sebagai negara besar di Asia Tenggara.

Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Sriwijaya memiliki letak yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan Internasional Asia Tenggara. Dengan letak yang strategis tersebut maka Sriwijaya berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi pelabuhan Transito sehingga dapat menimbun barang dari dalam maupun luar.
Dengan demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan sangat baik hal ini juga didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana seperti Balaputradewa, Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di jalurjalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari luar yang singgah dan berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut.
Dengan adanya pedagang-pedagang dari luar yang singgah maka penghasilan Sriwijaya meningkat dengan pesat. Peningkatan diperoleh dari pembayaran upeti, pajak maupun keuntungan dari hasil perdagangan dengan demikian Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan yang besar dan makmur.

Kehidupan Sosial
Faktor lain yang menjadikan Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah kehidupan sosial masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti.
Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan di bidang pendidikan yang berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil perkembangan dalam waktu yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya, raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama dan penganut agama yang taat.
Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Sriwijaya sangat baik dan makmur, dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh kemajuan dalam bidang kebudayaan.
Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).
Patung Budha di Bukit Siguntang
Gambar diatas adalah gambar patung Budha yang tingginya 2 meter berasal dari abad SM, dengan adanya gambar tersebut membuktikan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha.
Kebesaran dan kejayaan Sriwijaya ternyata banyak mengundang kerajaan lain menjadi tidak senang dan menyerang Sriwijaya sehingga mengalami kemunduran dan keruntuhan akibat serangan dari kerajaan lain.
-     Serangan pertama dari Raja Dharmawangsa dari Medang, Jatim tahun 990 M. pada waktu itu raja Sriwijaya adalah Sri Sudarmaniwarnadewa. Walaupun serangan tersebut gagal tetapi dapat melemahkan Sriwijaya.
-     Serangan berikutnya datang dari kerajaan Colamandele (India Selatan) yang terjadi pada masa pemerintahan Sri Sangramawijayatunggawarman pada tahun 1023 dan diulang lagi tahun 1030 dan raja Sriwijaya ditawan.
-     Tahun 1068 Raja Wirarajendra dariColamandele kembali menyerang Sriwijaya tetapi Sriwijaya tidak runtuh bahkan pada abad 13 Sriwijaya diberitakan muncul kembali dan cukup kuat sesuai dengan berita Cina.
-     Keruntuhan Sriwijaya terjadi pada tahun 1477 ketika Majapahit mengirimkan tentaranya untuk menaklukan Sumatra termasuk Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan Bhumi Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa Tengah. Daerah Mataram dikelilingi oleh banyak pegunungan dan di tengahnya banyak mengalir sungai besar diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo. Keadaan tanahnya subur sehingga pertumbuhan penduduknya cukup maju.

Sumber-sumber Prasasti
Mengenai bukti yang menjadi sumber sejarah berlangsungnya kerajaan Mataram dapat diketahui melalui prasasti-prasasti dan bangunan candi-candi yang dapat  diketahui sampai sekarang.
Prasasti-prasasti yang menjelaskan tentang keberadaan kerajaan Mataram tersebut yaitu antara lain:
a.   Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka tahun 723 M dalam bentuk Candrasangkala. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula Sanne kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanne).
b.   Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha). Bangunan suci seperti yang tertera dalam prasasti Kalasan tersebut ternyata adalah candi Kalasan yang terletak di sebelah timur Yogyakarta.
Candi Kalasan
c.   Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih Kedu, Jateng berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung.
d.   Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan berangka tahun 782 M ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Menurut para ahli bahwa yang dimaksud dengan arca Manjusri adalah Candi Sewu yang terletak di Komplek Prambanan dan nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.

Sumber berupa Candi
Selain prasasti yang menjadi sumber sejarah adanya kerajaan Mataram juga banyak bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, yang manjadi bukti peninggalan kerajaan Mataram yaitu seperti Candi pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, yang terletak di Jawa Tengah Utara. Selanjutnya di Jawa Tengah bagian selatan juga banyak ditemukan candi antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Palaosan, Candi Prambanan, Candi Sambi Sari, dan masih banyak candi-candi yang lain.

Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh dua dinasti atau wangsa yaitu wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa dan wangsa Syaelendra yang beragama Budha. Pada awalnya mungkin yang berkuasa adalah wangsa Sanjaya, hal ini sesuai dengan prasasti Canggal. Tetapi setelah perkembangan berikutnya muncul keluarga Syaelendra.
Menurut para ahli, keluarga Sanjaya terdesak oleh Keluarga Syaelendra, tetapi mengenai pergeseran kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah dan memiliki hubungan yang erat, hal ini sesuai dengan prasasti Kalasan. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syaelendra seperti yang tertera dalam prasasti Ligor, Nalanda maupun Klurak adalah Bhanu, Wisnu, Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira. Sedangkan raja-raja dari dinasti Sanjaya yang tertera dalam prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram yang berasal dari abad 8-9 yang bercorak Hindu yang terletak di Jateng bagian utara dan yang bercorak Budha terletak di Jateng selatan , untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan dinasti Sanjaya di Jateng bagian utara, dan kekuasaan dinasti Syaelendra di Jateng selatan. Kedua dinasti tersebut akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramodhawardhani yang bergelar Sri Kahulunan. Pramudhawardhani tersebut adalah putri dari Samaratungga.
Raja Samaratungga selain mempunyai putri Pramudyawardani , juga mempunyai putera yaitu Balaputradewa (karena Samaratungga menikah dengan keturunan raja Sriwijaya).
Kegagalan Balaputradewa merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, maka menyingkir ke Sumatera menjadi raja Sriwijaya. Untuk selanjutnya pemerintahan kerajaan Mataram dikuasai oleh dinasti Sanjaya dengan rajanya yang terakhir yaitu Wawa. Pada masa pemerintahan Wawa sekitar abad 10, Mataram di Jateng mengalami kemunduran dan pusat penerintahan dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sendok .
Dengan adanya perpindahan kekuasaan dari Jateng ke Jatim oleh Mpu Sendok, maka Mpu Sendok mendirikan dinasti baru yaitu dinasti Isyana dengan kerajaannya adalah Medang Mataram.
Pada tahun 1017 M kerajaan Medang pada masa Dharmawangsa mengalami pralaya/ kehancuran akibat serangan dari Wurawari dan yang berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut adalah Airlangga. Tahun 1023 Airlangga dinobatkan oleh pendeta Budha dan Brahmana (pendeta Hindu) menjadi raja Medang menggantikan Dharmawangsa. Sri Parameswari Po Kbi (Putri Wawa) Mahendrata Raja Udayana Putri Sri Isanatunggawijaya
Pada awal pemerintahannya Airlangga berusaha menyatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, dan melakukan pembangunan di dalam negeri dengan memindahkan ibukota kerajaan Medang dari Wutan Mas ke Kahuripan tahun 1031, serta memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, dan membangun bendungan Wringin Sapta. Dengan demikian usaha-usaha yang dilakukan oleh Airlangga mendatangkan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Tetapi kemudian tahun 1041 Airlangga mundur dari tahtanya dan memerintahkan untuk membagi kekuasaan menjadi 2 kerajaan. Kedua kerajaan tersebut adalah Jenggala dan Panjalu. Pada awalnya pembagian kerajaan tersebut dalam rangka menghindari perebutan kekuasaan diantara putera-putera Airlangga. Tetapi ternyata hal ini yang menjadi penyebab kerajaan Medang mengalami kehancuran.
Patung Airlangga
Kehidupan Ekonomi
Berdasarkan bangunan candi yang ada, baik yang bercorak Hindu maupun Budha jumlah cukup banyak dan tempat atau lokasinyapun ada yang berdampingan, maka hal ini membuktikan bahwa kehidupan sosial masyarakat Mataram sangat religius dan dilandasi oleh rasa gotong royong yang baik, dan juga mempunyai rasa toleransi antara pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama Budha itu sendiri.
Dalam lapangan ekonomi, kerajaan Mataram mengembangkan perekonomian agraris karena letaknya di pedalaman dan daerah yang subur tetapi pada perkembangan berikutnya, Mataram mulai mengembangkan kehidupan pelayaran, hal ini terjadi pada masa pemerintahan Balitung yang memanfaatkan sungai Bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangan menuju pantai utara Jawa Timur. Dengan adanya pengembangan perekonomian, maka timbul dugaan bahwa dipindahkannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur karena alasan tersebut.

Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya, tentu teknologi yang dicapai Mataram sudah maju, bahkan masyarakat Mataram berhasil mengembangkan budaya asing menjadi budaya baru yang bercirikan Indonesia. Hal ini terlihat adanya penggunaan berbagai huruf dan bahasa yang beraneka ragam dalam prasasti yang dibuatnya.
Kemajuan teknologi yang dicapai Mataram dapat  dirasakan/nikmati sampai sekarang contohnya candi Borobudur yang merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia.

Kerajaan Kediri
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi akhir perkembangan kerajaan Medang Mataram, bahwa pada tahun 1041 atau 963 C. Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan sebutan Jenggala dan Panjalu, yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibukotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kadiri meliputi Kediri, Madiun, dan ibukotanya Daha.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan. Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kadiri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga.
Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kadiri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra.

Sumber-sumber Prasasti
Prasasti-prasasti menjelaskan kerajaan Kadiri antara lain yaitu:
a. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala.
b.   Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.
Selain dari prasasti-prasasti tersebut di atas, sebenarnya ada lagi prasasti-prasasti yang lain tetapi tidak begitu jelas. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kadiri adalah hasil karya berupa kitab sastra karena pada masa Kadiri kesusastraan berkembang dengan pesat. Salah satu hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayuda dengan ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1156 M yang menceritakan tentang kemenangan Kadiri/Panjalu atas Jenggala.
Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kadiri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M.
Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kadiri dalam berbagai aspek kehidupan dapat diketahui.

Kehidupan Politik
Dalam perkembangan politiknya wilayah kekuasaan Kadiri masih sama seperti kekuasaan raja Airlangga, dan raja-rajanya banyak yang dikenal dalam sejarah karena memiliki lencana atau lambang sendiri.
Raja-raja yang terkenal dari kerajaan Kutai antara lain Raja Kameswara (1115 – 1130 M) mempergunakan lancana Candrakapale yaitu tengkorak yang bertaring pada masa pemerintahannya banyak dihasilkan karya-karya sastra, bahkan kiasan hidupnya dikenal dalam Cerita Panji. Raja selanjutnya adalah Jayabaya memerintah tahun 1130 - 1160 mempergunakan lancana Narasingha yaitu setengah manusia setengah singa pada masa pemerintahannya Kadiri mencapai puncak kebesarannya dan juga banyak dihasilkan karya sastra terutama ramalannya tentang Indonesia antara lain akan datangnya Ratu Adil.
Kemudian pada tahun 1181 pemerintahan raja Sri Gandra juga terdapat sesuatu yang menarik pada masa pemerintahannya, yaitu untuk pertama kalinya didapatkan orangorang terkemuka mempergunakan nama-nama binatang sebagai namanya yaitu seperti Kebo Salawah, Manjangan Puguh, Macan Putih, Gajah Kuning, dsb.
Untuk selanjutnya tahun 1200 - 1222 yang menjadi raja Kadiri adalah Kertajaya. Ia memakai lancana Garudamuke seperti Rya Airlangga, tetapi sayangnya raja ini kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum Brahmana. Hal inilah yang akhirnya menjadi penyebab berakhirnya kerajaan Kadiri, karena kaum Brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok di Singosari sehingga tahun 1222 Ken Arok berhasil menghancurkan Kadiri.

Kehidupan Ekonomi
Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kadiri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kadiri terkenal sebagai penghasil beras, menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kadiri sudah cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.
Kehidupan Sosial
Bahkan berdasarkan kedua kitab tersebut diceritakan bahwa kehidupan sosial masyarakat Kadiri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kadiri telah memakai kain sampai di bawah lutut.
Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat  diketahui sampai sekarang.
Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Kariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmeja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.

Kerajaan Singosari.
Adanya kerajaan Singosari tentu bukan sesuatu yang asing, karena Singosari sangat identik dengan Ken Arok dan banyak cerita dan lakon drama yang mengambil ide cerita dari riwayat hidup Ken Arok dan berdirinya Singosari.

Sumber-sumber Sejarah
Keberadaan kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban.
Candi Kidal
Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M/1144 C Ken Arok menyerang Kadiri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter.
Dengan kemenangannya maka Ken Arok dapat menguasai seluruh kekuasaan kerajaan Kadiri dan menyatakan dirinya sebagai raja Singosari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwawabhumi. Sebagai raja pertama Singosari maka Ken Arok menandai munculnya dinasti baru yaitu dinasti Rajasa atau dinasti Girindra.
Diantara raja-raja Singosari yang memerintah, raja Kertanegaralah yang paling terkenal, karena dibawah pemerintahan Kertanegara Singosari mencapai puncak kebesarannya. Kertanegara bergelar Sri Maharajaderaja Sri Kertanegara mempunyai gagasan politik untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Apa yang dicita-citakan oleh Kertanegara, mengakibatkan daerah kekuasaan Singasari meluas.
Kekuasaan yanga dapat dicapai oleh Kertanegara karena tindakan politiknya yaitu seperti:
a.   Membangun Singasari menjadi pusat pemerintahan dan berusaha menyingkirkan lawan-lawan politiknya seperti Kebo Arem (Raganatha) dijadikan adhyaksa di Tumapel, Arya Wiraraja (Banyak Wide) dijadikan Bupati Madura.
b.   Menumpas pemberontakan Mahisa Rangkah.
c.   Menyatukan agama Syiwa dan Budha menjadi agama Tantrayana (Syiwa Budha). Agama ini dipimpin oleh Dharma Dyaksa.
d.   Melakukan politik perkawinan yaitu mengawinkan salah satu putrinya dengan R. Wijaya dan putri yang lain dengan Ardharaja putra Jayakatwang dari Kediri dalam rangka memperkuat kedudukannya sebagai raja Singasari. Dan mengawinkan saudaranya dengan raja Campa yaitu raja Jaya Singhawarman IV dalam rangka mencari persekutuan/aliansi dengan kerajaan Campa.
e.   Mengirimkan ekspedisi ke luar pulau Jawa antara lain ekspedisi ke Malayu/ Pamalayu tahun 1275 untuk menjalin persahabatan dengan kerajaan Malayu dan ekspansi ke Bali tahun 1284 karena Bali tidak mau tunduk kepada Singasari.
Dari tindakan-tindakan politik Kertanegara tersebut, mungkin di satu sisi Kertanegara berhasil mencapai cita-citanya memperluas dan memperkuat Singasari, tetapi dari sisi yang lain muncul beberapa ancaman yang justru berakibat hancurnya Singasari.
Ancaman yang muncul dari luar yaitu dari tentara Kubilai-Khan dari Cina Mongol karena Kertanegara tidak mau mengakui kekuasaannya bahkan menghina utusan Kubilai-khan yaitu Meng-chi yang dibuat cacat mukanya.
Sedangkan ancaman yang lain dari dalam yaitu adanya serangan dari Jayakatwang dari Kadiri tahun 1292 yang bekerja sama dengan Arya Wiraraja Bupati Sumenep yang tidak diduga sebelumnya. Sehingga Kertanegara terbunuh, maka jatuhlah Singasari di bawah kekuasaan Jayakatwang dari Kediri.
Setelah Kertanegara meninggal maka didharmakan/diberi penghargaan di candi Jawi sebagai Syiwa Budha, di candi Singasari sebagai Bhairawa. Di Sagala sebagai Jina (Wairocana) bersama permaisurinya Bajradewi.
Candi Singosari
Dalam kitab Pararaton maupun Negara Kertagama diceritakan bahwa kehidupan sosial masyarakat Singosari cukup baik karena rakyat terbiasa hidup aman dan tenteram sejak pemerintahan Ken Arok bahkan dari raja sampai rakyatnya terbiasa dengan kehidupan religius.
Kehidupan religius tersebut dibuktikan dengan berkembangnya ajaran agama baru yaitu ajaran Tantrayana (Syiwa Budha) dengan kitab sucinya Tantra. Ajaran Tantrayana berkembang dengan baik sejak pemerintahan Wisnuwardhana dan mencapai puncaknya pada masa Kertanegara, bahkan pada akhir pemirintahan Kertanegara ketika diserang oleh Jayakatwang, sedang melaksanakan upacara Tantrayana bersama Mahamantri dan pendeta terkenal.

Kehidupan Ekonomi
Dalam kehidupan ekonomi, walaupun tidak ditemukan sumber yang secara jelas tetapi sangat memungkinkan bahwa ekonomi Singosari ditekankan pada kehidupan pertanian dan perdagangan serta pelayaran. Perkembangan tersebut sangat dimungkinkan karena Singosari merupakan daerah yang subur dan dapat memanfaatkan sungai Brantas dan Bengawan Solo sebagai sarana lalu lintas perdagangan dan pelayaran.

Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya, Singosari sangat berkembang karena Singosari banyak meninggalkan bangunan monumental atau budaya lain yang berhubungan dengan agama yaitu seperti candi Kedal, candi Jago, candi Singosari dan patung Joko Dolok yang merupakan perwujudan Kertanegara yang terletak di simpang tiga Surabaya, Jatim.

Kerajaan Majapahit
Nama kerajaan Majapahit tentu bukanlah sesuatu yang asing, karena Majapahit adalah salah satu kerajaan Hindu yang terbesar di Indonesia.

Sumber-sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang menjelaskan tentang kerajaan Majapahit sebagian besar berupa kitab sastra yaitu seperti:
a.   Kitab Pararaton, selain menceritakan tentang raja-raja Singosari juga menjelaskan tentang raja-raja Majapahit.
b. Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada tahun 1365 menjelaskan tentang keadaan kota Majapahit, daerah Jajahannya dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah kekuasaannya.
c.   Kitab Sundayana menjelaskan tentang perang Babat.
d.   Kitab Usaha Jawa menjelaskan tentang penaklukan pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar.
Di samping sumber sejarah di atas, sumber sejarah peninggalan Majapahit juga berupa seni bangunan seperti candi, pinti gerbang, pemandian atau pertirtaan serta kota Trowulan, bekas ibukota Majapahit yang terletak di kota Mojokerto Jawa Timur. Sedangkan sumber dari luar negeri yang membuktikan kerajaan Majapahit diperoleh dari berita-berita Cina yaitu seperti berita yang ditulis pada masa dinasti Ming (1368- 1643) dan berita dari Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai menceritakan tentang keadaan masyarakat dan kota Majapahit tahun 1418 serta berita dari Portugis tahun 1518. Dari sumber-sumber tersebut di atas, dapat diketahui pemerintahan raja-raja Majapahit, kehidupan sosial, ekonomi, serta peninggalan budaya-budaya Majapahit.
Berdirinya kerajaan Majapahit adalah berkat usaha dan perjuangan Raden Wijaya dengan memanfaatkan kedatangan tentara Cina Mongol (Kubilai Khan) yang datang ke Pulau Jawa untuk menghukum Kertanegara.
Dengan kedatangan pasukan Kubilai Khan, maka dimanfaatkan untuk menyerang Jayakatwang di Kadiri, sehingga kekalahan Kertanegara dapat terbalaskan karena Jayakatwang akhirnya meninggal di Ujung Galuh. Sedangkan pasukan Kubilai Khan melalui tipu muslihat Raden Wijaya dapat diusir dari pulau Jawa tahun 1293. Setelah berhasil mengusir pasukan Kubilai Khan, maka tahun 1293 Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawisnuwardhana.
Kertarajasa
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang kuat, maka Raden Wijaya melakukan berbagai tindakan yaitu seperti melanjutkan pembangunan Majapahit sebagai pusat pemerintahan, mengawini keempat putri Kertanegara dan membalas jasa dengan memberikan kekuasaan kepada para sahabat dan pengikutnya.
Walaupun demikian diantara para pengikutnya ada yang tidak puas dan akhirnya menjadi benih pemberontakan di Majapahit. Pemberontakan tersebut muncul pada masa pemerintahan Jayanegara (Kala Geret), karena Jayanegara adalah raja yang lemah.
Diantara pemberontakan tersebut yang paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti tahun 1319 tetapi akhirnya dapat dipadamkan oleh pasukan Bhayangkari yang dipimpin Gajah Mada. Atas jasanya Gajah Mada menjadi patih Kahuripan tahun 1319 dan selanjutnya tahun 1321 diangkat menjadi patih Daha.
Pemberontakan terhadap Majapahit tetap muncul, pada masa pemerintahan Tribuana Tungga Dewi yaitu seperti pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki tahun 1331. Dan pemberontakan tersebut juga berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Atas jasa tersebut maka Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Majapahit tahun 1333. Pada saat pengangkatan tersebut, Gajah Mada mengucapkan suatu sumpah yang terkenal dengan Sumpah Palapa.
Dengan adanya Sumpah Amukti Palapa, maka Gajah Mada bercita-cita mempersatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Sehingga untuk mewujudkan sumpah tersebut, pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada dan dibantu oleh Adityawarman melakukan politik ekspansi/penyerangan keberbagai daerah dan berhasil. Atas jasanya Adityawarman diangkat menjadi Raja Melayu tahun 1347 untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatera.
Pada tahun 1350, Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk. Ia bergelar Rajasanegara dan dalam menjalankan pemerintahan yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Adityawarman dan Mpu Nala sehingga pada masa tersebut Majapahit mencapai puncak kebesarannya, karena daerah kekuasaannya hampir meliputi seluruh Nusantara dan Majapahit berkembang sebagai kerajaan Maritim sekaligus kerajaan Agraris.
Memang benar apa yang dicita-citakan oleh Gaja Mada melalui sumpahnya dapat terlaksana kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya. Dalam rangka menguasai Pajajaran tersebut, maka Gajah Mada melakukan Politik perkawinan yang berakibat terjadinya peristiwa Bubat tahun 1357.
Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit. Untuk itu dalam rangka menjaga keamanan dan memelihara kesatuan daerah kekuasaannya maka Majapahit memperkuat armada lautnya di bawah pimpinan Mpu Nala. Dan juga berusaha menjalin persahabatan dengan negara-negara tentangga yang diistilahkan Mitrekasatata yang berarti sahabat atau sahabat sehaluan atau hidup berdampingan secara damai.
Tahun 1364 Gajah Mada meninggal. Sehingga Majapahit mengalami kesulitan mencari penggantinya. Baru tiga tahun kemudian digantikan oleh Gajah Enggon. Meninggalnya Gajah Mada sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Hayam Wuruk, sehingga pemerintahan Hayam Wuruk mengalami kemunduran. Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Selanjutnya tahta Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana.
Pada masa pemerintahan Wikramawardhana (tahun 1389 - 1429) kehidupan politik Majapahit diwarnai oleh Perang Paregreg atau perang saudara antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabumi. Perang Paregreg terus berkelanjutan menyebabkan bintang Majapahit semakin pudar, sehingga banyak daerah-daeah kekuasaannya yang melepaskan diri. Hal ini ditambah dengan adanya penyebaran Islam yang berpusat di Malaka serta munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang Majapahit maka keruntuhan Majapahit diambang pintu.
Mengenai runtuhnya Majapahit ada beberapa pendapat yaitu:
1. Majapahit runtuh tahun 1478, ketika Girindrawardhana memisahkan diri dari Majapahit dan menamakan dirinya sebagai raja Wilwatikta Daha Janggale Kadiri. Tahun peristiwa tersebut di tulis dalam Candrasangkale yang berbunyi “Hilang sirna kertaning bhumi”.
2.   Pendapat lain menjelaskan Majapahit runtuh karena diserang oleh Demak yang dipimpin oleh Adipati Unus tahun 1522.
Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara kehidupan sosial masyarakat Majapahit umumnya baik, kerajaan memperhatikan kepentingan rakyat, keamanan rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan ditegakkan dengan tidak pandang bulu.
Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus yaitu Dharmadjaksa ring kasaewan yang mengurus agama Hindu Syiwa dan Dharmadjaksa ring Kasogatan yang mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut Dharma Upapatti.
Dengan adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan dengan baik, bahkan tercipta toleransi. Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma- Huan tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Budha juga ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun. Dan berita Ma-Huan tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit.
Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di dalamnya ditemukan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika, TanHana Dharma mangrua”.
Sebagai negara agraris dan maritim, maka tentu perekonomian Majapahit bersumber dari pertanian, pelayaran, dan perdagangan yang saling menunjang dan saling melengkapi. Pemerintahan Majapahit selalu berusaha meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau memelihara tanggul sepanjang sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu juga memperbaiki jalan-jalan jembatan untuk mempelancar lalu lintas perdagangan. Komoditi perdagangan Majapahit adalah beras dan rempah-rempah. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Dengan demikian kehidupan ekonomi Majapahit cukup tinggi sehingga Majapahit dapat berkembang sebagai kerajaan besar.
Sebagai kerajaan besar tentu kebudayaan Majapahit berkembang dengan baik, hasil peninggalan Majapahit berupa seni bangunan, patung, dan karya sastra. Seni bangunan Majapahit antara lain pemandian, atau petirtaan, gapura yang berbentuk seperti candi bentar maupun Bajang Retu, candi Penataran di Blitar dan masih banyak lagi candi-candi peninggalan Majapahit yang lain.
Kelompok Candi Penataran
Selain seni bangunan, peninggalan Majapahit juga berupa seni patung yaitu seperti patung perwujudan Raden Wijaya sebagai Harihara atau sebagai Syiwa dan Wisnu dalam satu arca, patung putri Suhuta dan patung Tribhuwana sebagai Parwati.
Sedangkan peninggalan Majapahit dalam bidang seni sastra juga cukup banyak, selain kitab-kitab yang telah disebutkan pada uraian materi sebelumnya, juga kitab-kitab yang lain yaitu seperti kitab Arjunawiwaha yang ditulis oleh Mpu Tantular, kitab Ranggalawe, kitab Sorondaka yang berbentuk kidung dan juga ada kitab hukum yang ditulis oleh Gajahmada yaitu kitab Kutaramanawa yang digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Kitab Hukum Kutaramanawa disusun berdasarkan kitab Hindu yang lebih tua yaitu kitab Kutarasastra dan Manawasastra. Dengan demikian dari kitab hukum tersebut, merupakan salah satu contoh wujud akulturasi dengan kebudayaan India.









































ARTI KATA PENTING




Akulturasi : Perpaduan dua budaya berbeda tetapi tidak menghilangkan kepribadian budaya asli.
Airavata : Gajah Tunggangan dewa Indra.
Catur warna : pembagian golongan masyarakat berdasarkan empat kasta.
Candrasangkala : Susunan kata-kata/kalimat yang dapat di baca sebagai angka.
Dharmadyaksa ring kasaiwan : Pejabat yang mengurus agama Hindu Syiwa
Dharmadyaksa ring kasogatan : Pejabat yang mengurus agama Budha
Lingga : Lambang agama Syiwa
Narasingha : Lencana kerajaan yang berbentuk setengah manusia dan setengah singa.
Polytheisme : Kepercayaan terhadap benyak dewa
Pralaya : Kehancuran
Paregreg : Perang saudara
Religi : Keyakinan akan adanya kebenaran
Sinkretisme : Perpaduan dua budaya (kepercayaan) yang berbeda menjadi satu.
Sidhayatra : Perjalanan suci
Samyak Sambodhi : Kesadaran yang sempurna menurut ajaran Budha
Wangsakerta : Tempat suci memuja dewa Syiwa
Antrayana : Agama Syiwa Budha
 sumber :yanamblog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar